Kamis, 22 Desember 2011

Askep Trauma Muskuloskeletal; Fraktur

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL (FRAKTUR)

A. Fraktur
1. Pengertian 
Trauma sistem muskuloskeletal yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah fraktur. Definisi yang paling sederhana menurut Tucker, et. al (1999: 434) fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang. Sedangkan menurut  Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1138) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Senada dengan definisi yang dinyatakan oleh  para ahli diatas Doenges, et. al (2000: 761) juga mendefinisikan fraktur sebagai pemisahan atau patahnya tulang.
Beberapa definisi fraktur diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang yang disebabkan oleh beberapa mekanisme. Penyebab yang paling lazim adalah karena trauma.
2. Penyebab 
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma namun dapat juga disebabkan oleh kondisi lain menurut Appley dan Salomon (1995: 238) fraktur dapat terjadi karena:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.

1) Bila  terkena kekuatan langsung
Tulang dapat patah dan dapat  mengenai jaringan lunak. Karena pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan dapat menyebabkan fraktur kominutif disertai kerusakan jaringan  lunak  yang luas.
2) Bila terkena kekuatan tak langsung
Tulang mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu. Kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia dan fibula atau  metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara yang jalan berbaris dengan jarak jauh.
c. Fraktur patalogik  
Fraktur dapat terjadi oleh kekuatan tulang yang  berkurang atau rapuh oleh karena adanya proses patologis. Proses patologis tersebut antara lain adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.
3. Gambaran  klinis
Manifestasi klinis fraktur tergantung pada tingkat keparahan  trauma serta lokasi fraktur. Menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2358-2359) manifestasi klinis fraktur antara lain:

a. Nyeri.
Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas dan kehilangan fungsi.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan akan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan  deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada intregitas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pemendekan tulang.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain antara 2,5 sampai 5 cm (1 sampai  2 inci).
d. Krepitus. 
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang  lebih berat.
e. Edema.
Pembengkakan  dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear, fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut. 
4. Anatomi / patologi
Menurut Price dan Wilson (1995: 1776) bagian-bagian tulang panjang yaitu diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang  memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar didekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama tersusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah juga terdapat dibagian epifisis dan diafisis tulang. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak dan akan menghilang pada tulang dewasa.



















Gambar 1. Anatomi tulang panjang (Price dan Wilson, 1995: 1776).


Terdapat berbagai tipe fraktur berdasarkan bentuk garis patah. Tipe-tipe fraktur tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:










Gambar 2. Berbagai tipe fraktur berdasarkan betuk garis patah (Smeltzer dan Bare, 2002: 2359).
5. Patofisiologi
Sabiston (1997: 370) menyatakan bahwa pola fraktur ditentukan dalam tingkat tertentu oleh sifat tenaga yang diberikan. Hal lain yang menentukan adalah sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang (Price dan Wilson, 1995: 1183). Ketiga hal tersebut dapat mentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap artinya mengenai seluruh penampang tulang atau sebagian saja. Menurut Underwood (1999: 811) sifat dan arah garis fraktur juga tergantung dari usia penderita dan jenis tulang yang terkena fraktur. Faktor-faktor ini bukan hanya dapat menentukan sifat dan arah garis fraktur saja karena usia penderita, jenis tulang yang fraktur serta pola tempat cedera mempengaruhi juga dalam kecepatan prose penyembuhan.
Pola terjadinya fraktur pada tulang sangat berperan dalam menentukan klasifikasinya. Klasifikasi fraktur menurut FKUI (2000: 346-347) dideskripsikan sebagai berikut:
a. Komplit atau tidak komplit.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti:
a) Hairline fracture  (patah retak rambut).
b) Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya,                biasanya pada distal radius anak-anak.
c) Greenstick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak.
b. Bentuk garis patah dan hubunganya dengan mekanisme trauma.
1) Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung.
2) Garis patah oblik : trauma angulasi.
3) Garis patah spiral : trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa.
5) Fraktur avulsi : trauma tarikan / traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur patella.
c. Jumlah garis patah.
1) Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal.
3) Faktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya misalnya fraktur femur, fraktur kruris dan fraktur tulang belakang.
d. Bergeser atau tidak bergeser.
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen frakt ur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi menjadi:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pegeseran membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).
e. Komplikasi atau tanpa komplikasi. Komplikasi dapat berupa komplikasi dini atau lambat, lokal atau sistemik, oleh trauma atau akibat pergerakan.
f. Terbuka atau tertutup.
1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (open atau compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I.
(1) Luka kurang dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk 
(3) Fraktur sederhana, tranversal, oblik atau kominutif ringan.
(4) Kontaminasi ringan.
b) Derajat II.
(1) Laserasi lebih dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap atau avulsi.
(3) Fraktur kominutif sedang.
(4) Kontaminasi sedang.
c) Derajat III.
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:
(1) Jaringan lunak yang menutupi fraktur adekuat, meskipun terdapat laserasi luas, flap atau avulsi atau fraktur segmental / sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
(2) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi.
(3) Luka pada pembuluh arteri atau saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
Bila terjadi patah tulang maka proses penyembuhannya berbeda dengan jaringan lain. Ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut seperti jaringan lain pada umumnya tetapi mengalami regenerasi sendiri. Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1146) menyatakan bahwa proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang.
Tahapan-tahapan penyembuhan tulang menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2266-2268) adalah sebagai berikut:
a. Inflamasi. 
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag, yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi sel.
Kurang lebih 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteobalast (berkembang dari osteosit, sel endostel dan periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteosit). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus.
c. Pembentukan kalus.
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi yang lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan sampai tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Agar fragmen tulang rawan atau jaringan fibrus diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
d. Osifikasi.
Pembentukan kalus mulai mengalami penurunan dalam 2 sampai 3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada patah tulang panjang orang dewasa, penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
e. Remodeling.
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung beratnya tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus, stress funsional pada tulang. Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat daripada tulang kortikal kompak khususnya pada titik kontak langsung.
Proses penyembuhan tulang tersebut dapat terganggu karena beberapa hal, sehingga akan memperlambat pertautan dua fragmen. Menurut Long (1996: 359) penyebab gangguan penyembuhan tulang atara lain sebagai berikut:
a. Kalus putus atau remuk karena aktivitas berlebihan. 
b. Edema pada lokasi fraktur, menahan penyaluran nutrisi ke lokasi.
c. Immobilisasi yang tidak efisien.
d. Infeksi terjadi pada lokasi.
e. Kondisi gizi klien buruk.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2361) faktor yang menghambat penyembuhan tulang adalah:
a. Trauma lokal ekstensif.
b. Kehilangan tulang.
c. Immobilisasi tidak memadai.
d. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang.
e. Infeksi.
f. Keganasan lokal.
g. Penyakit tulang metabolik ( misalnya penyakit Paget).
h. Radiasi tulang (nekrosis radiasi). 
i. Nekrosis avaskuler.
j. Fraktur intraartikuler (cairan sinovial mengandung fibrilisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan).
k. Usia (lansia sembuh lebih lama).
l. Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan).
B. Amputasi
1. Pengertian
Amputasi adalah perlakuan yang mengakibatkan cacat menetap (Syamsuhidajat dan Jong, 1997: 1282). Sedangkan menurut Engram (1999: 343) amputasi merujuk pada pengangkatan semua atau sebagian ekstremitas. Tucker, et. al (1999: 453) juga memberikan definisi yang lebih terinci yaitu amputasi kaki adalah pengangkatan melalui pembedahan bagian dari kaki karena trauma, penyakit, tumor atau anomali kongenital.
Definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa amputasi adalah tindakan pengangkatan sebagian atau seluruhnya dari bagian tubuh terutama  ekstremitas atas indikasi tertentu sehingga menimbulkan kecacatan menetap. Terdapat dua macam amputasi dilihat dari teknik pembedahannya. Menurut Engram (1999: 347) amputasi dapat terbuka (guillotine) atau tertutup.
Amputasi terbuka dikerjakan pada luka kotor seperti luka perang atau infeksi berat antara lain gangren gas. Pada amputasi cara ini sayatan dikulit dibuat secara sirkuler sedangkan otot dipotong lebih proksimal dari sayatan di kulit dan tulang digergaji sedikit proksimal dari otot. Luka dibiarkan terbuka sampai infeksi teratasi, kemudian baru dikerjakan reamputasi (Syamsuhidajat dan Jong, 1997: 1285). Untuk amputasi tertutup, dokter bedah menutup luka dengan flap kulit dan otot (Engram, 1999: 343).


2. Indikasi
Menurut Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1282) indikasi amputasi antara lain:
a. Kelainan tulang yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah.
b. Cedera.
c. Tumor ganas.
d. Infeksi.
e. Kelainan bawaan.
f. Kelainan neurologis seperti paralisis dan anestesia.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2387) amputasi ekstermitas bawah sering diperlukan pada kondisi-kondisi berikut:
a. Penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai gejala sisa diabetes mellitus).
b. Gangren.
c. Trauma (cedera remuk, luka bakar, luka bakar dingin, luka bakar listrik).
d. Deformitas kongenital.
e. Tumor ganas.



D. Fokus Pengkajian
Fokus pengkajian pada klien dengan fraktur menurut Doenges, et. al (2000: 761) adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas istirahat.
Tanda  : Keterbatasan atau fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder dan pembengkakan jaringan, nyeri).
2. Sirkulasi.
Tanda : Hipertensi atau tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat. Pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jariangan atau massa hematoma pada sisi cedera.
3. Neurosensori.
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri ansietas atau trauma lain).
4. Nyeri / kenyamanan.
Gejala : Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang, dapat berkurang pada immobilisasi). Tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi).
5. Keamanan.
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
6. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejala : Lingkungan cedera.
Fokus pengkajian pada klien yang mengalami amputasi menurut Doenges, et. al (2000: 786) adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas / istirahat.
Gejala : Keterbatasan aktual atau antisipasi yang dimungkinkan oleh kondisi / amputasi.
2. Integritas ego.
Gejala : Masalah tentang antisipasi pola hidup, situasi finansial, reaksi orang lain. Perasaan putus asa, tidak berdaya.
Tanda  : Ansietas, ketakutan, peka, marah, menarik diri, keceriaan semu.
3. Seksualitas.
Gejala : Masalah tentang keintiman hubungan.
4. Interaksi sosial.
Gejala : Masalah sehubungan dengan penyakit atau kondisi. Masalah tentang peran fungsi, reaksi orang lain.
5. Penyuluhan / pembelajaran.
Memerlukan bantuan dalam perawatan luka atau bahan, adapatasi terhadap alat bantu ambulatori, transportasi, pemeliharaan rumah, kemungkinan aktivitas perawatan diri dan latihan kejuruan.

E. Fokus Intervensi
Menurut Doenges, et. al (2000: 763-774) fokus intervensi pada klien fraktur adalah sebagai berikut:
1. Nyeri berhubungan dengan gerakan fragmen, edema dan cedera pada jaringan lunak.
Hasil yang dih arapkan:
a. Menyatakan nyeri hilang.
b. Menunjukkan tindakan santai: mampu berpartisipasi dalam aktivitas / tidur / istirahat dengan ketat.
c. Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring , gips, pembebat, traksi.
Rasional : Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan cedera.
b. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena fraktur.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan nyeri.
c. Hindari penggunaan sprei atau bantal plastik di bawah ekstremitas yang di gips.
Rasional : Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang kering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Photobucket