Selasa, 03 Januari 2012

Asuhan Keperawatan Hepatitis

ASUHAN KEPERAWATAN
HEPATITIS


A. DEFINISI
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).
Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)

B. ETIOLOGI
1. Virus
Type A Type B Type C Type D Type E
Metode transmisi Fekal-oral melalui orang lain Parenteral seksual, perinatal Parenteral jarang seksual, orang ke orang, perinatal Parenteral perinatal, memerlukan koinfeksi dengan type B
Fekal-oral
Keparah-an Tak ikterik dan asimto- matik Parah Menyebar luas, dapat berkem-bang sampai kronis Peningkatan insiden kronis dan gagal hepar akut
Sama dengan D
Sumber virus Darah, feces, saliva Darah, saliva, semen, sekresi vagina Terutama melalui darah Melalui darah Darah, feces, saliva

2. Alkohol
Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.

3. Obat-obatan
Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis akut.

C. TANDA DAN GEJALA
1. Masa tunas
Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)
Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)
Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)
2. Fase Pre Ikterik
Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.
3. Fase Ikterik
Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
4. Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.

D. PATOFOSIOLOGI
Patways terlampir.
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.


E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan pigmen
- urobilirubin direk
- bilirubun serum total
- bilirubin urine
- urobilinogen urine
- urobilinogen feses
b. Pemeriksaan protein
- protein totel serum
- albumin serum
- globulin serum
- HbsAG
c. Waktu protombin
- respon waktu protombin terhadap vitamin K
d. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase
- AST atau SGOT
- ALT atau SGPT
- LDH
- Amonia serum
2. Radiologi
- foto rontgen abdomen
- pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif
- kolestogram dan kalangiogram
- arteriografi pembuluh darah seliaka
3. Pemeriksaan tambahan
- laparoskopi
- biopsi hati



F. KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.





























PATHWAYS













ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati
1. Aktivitas
ð Kelemahan
ð Kelelahan
ð Malaise

2. Sirkulasi
ð Bradikardi ( hiperbilirubin berat )
ð Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa
3. Eliminasi
ð Urine gelap
ð Diare feses warna tanah liat
4. Makanan dan Cairan
ð Anoreksia
ð Berat badan menurun
ð Mual dan muntah
ð Peningkatan oedema
ð Asites
5. Neurosensori
ð Peka terhadap rangsang
ð Cenderung tidur
ð Letargi
ð Asteriksis
6. Nyeri / Kenyamanan
ð Kram abdomen
ð Nyeri tekan pada kuadran kanan
ð Mialgia
ð Atralgia
ð Sakit kepala
ð Gatal ( pruritus )

7. Keamanan
ð Demam
ð Urtikaria
ð Lesi makulopopuler
ð Eritema
ð Splenomegali
ð Pembesaran nodus servikal posterior
8. Seksualitas
ð Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar
4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus

G. INTERVENSI
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
a. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan
R/ keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan
b. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan tawarkan pagi paling sering
R/ adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya.
c. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
R/ akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.
d. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
R/ menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan
e. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
R/ glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.

2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
Hasil yang diharapkan :
Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)
a. Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri
R/ nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri.
b. Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri
- Akui adanya nyeri
- Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya
R/ klienlah yang harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan kesehatan bahwa ia mengalami nyeri
c. Berikan informasi akurat dan
- Jelaskan penyebab nyeri
- Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui
R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan kurang/tidak terdapat penjelasan)
d. Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi
R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri.

3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar.
Hasil yang diharapkan :
Tidak terjadi peningkatan suhu
a. Monitor tanda vital : suhu badan
R/ sebagai indikator untuk mengetahui status hypertermi
b. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000 l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.
R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi



c. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
R/ menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan
d. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R/ kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur. Juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.

4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
a. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu
R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang
b. Sarankan klien untuk tirah baring
R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit.
c. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-kemampuan dan minat-minat
R/ memungkinkan klien dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang sangat penting dan meminimalkan pengeluaran energi untuk kegiatan yang kurang penting
d. Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan
R/ keletihan dapat segera diminimalkan dengan mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan keletihan
e. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif, teknik relaksasi)
R/ untuk mengurangi keletihan baik fisik maupun psikologis


5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
Hasil yang diharapkan :
Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.
a. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering
- Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan (kadtril, lanolin)
- Keringkan kulit, jaringan digosok
R/ kekeringan meningkatkan sensitifitas kulit dengan merangsang ujung syaraf
b. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal
R/ penghangatan yang berlebih menambah pruritus dengan meningkatkan sensitivitas melalui vasodilatasi
c. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk
R/ penggantian merangsang pelepasan hidtamin, menghasilkan lebih banyak pruritus
d. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin
R/ pendinginan akan menurunkan vasodilatasi dan kelembaban kekeringan
6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.
Hasil yang diharapkan :
Pola nafas adekuat
Intervensi :
a. Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan
R/ pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen

b. Auskultasi bunyi nafas tambahan
R/ kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan
c. Berikan posisi semi fowler
R/ memudahkan pernafasan denagn menurunkan tekanan pada diafragma dan meminimalkan ukuran sekret
d. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif
R/ membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak
e. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
R/ mungkin perlu untuk mencegah hipoksia
7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus
Hasil yang diharapkan :
Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
a. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk menangani semua cairan tubuh
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen
- Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh
- Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat, jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun
R/ pencegahan tersebut dapat memutuskan metode transmisi virus hepatitis
b. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang terkontaminasi
R/ teknik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan mencegah transmisi penyakit
c. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.
R/ mencuci tangan menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi
d. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan yang tepat
R/ rujukan tersebut perlu untuk mengidentifikasikan sumber pemajanan dan kemungkinan orang lain terinfeksi
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.
Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.
Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.
Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I, jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai Penerbit FKUI, jakarta.

Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus

ASKEP DIABETES MELLITUS

A. KONSEP MEDIS
1. PENGERTIAN
• Pengertian Penyakit DM
• DM diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. DM tipe I (IDDM).
2. DM tipe II (NIDDM).
3. DM skundero.
4. DM yang berhubungan dengan malnutrisi (KTG dan DMG).
2. Etiologi
Menurut Corwin (2000, hal: 543) etiologi/ penyebab DM tergantung pada tipe-tipenya.
 Tipe I (IDDM)
Disebabkan karena ketidak absolutan insulin sehingga harus mendapatkan insulin pengganti, kebanyakan dijumpai pada orang dewasa kurang dari 30 tahun.





 Tipe II (NIDDM)
Disebabkan karena kegagalan relatif sel bata dan resistensi insulin sering dijumpai pada orang dewasa dan orang kelebihan derat badan.
 DM Sekunder
Disebabkan karena pengaruh lain, misalnya kerusakan pankreas, obat-obatan kimia, kelainan insulin sidrom genetik tertentu.
 DM yang berhubungan dengan malnutrisi
 KTG  hampir sama dengan sekunder terjadi karena kerusakan pankreas sehingga konsentrasi glukosa antara normal dan DM dapat menjadi normal/melebihi nilai konsentrasi tersebut.

 DMG  Terjadi saat hamil karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon disertai pengaruh peningkatan metabolik.

3. Patofisiologi




















































4. Tanda dan Gejala DM
5. Penatalaksanaan
Soegondo S, dkk (2004, hal: 257) penatalaksanaan DM dikaitkan dengan:
a) 1. Makanan yang beranekaragam yang bisa menjamin terpenuhinya kecakupan sumber zat tenaga, pembangun, pengatur.
2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi (10-15% protein, 20-25% lemak, 60-70% karbohidrat).
3. Makanlah makanan sumber karbohidrat (batasi karbohidrat sederhana).
4. Batasi konsumsi lemak.
5. Gunakan garam beryodium.
6. Makanlah makanan sumber zat besi.
7. Biasakan makan pagi.
8. Hindari minum alkohol.
b) Latihan jasmani
Latihan jasmani dapat menurunkan BB dan meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot.
c) Obat-obatan penurun gula darah
Obat-obatan penurun gula antara lain, Chlorpropamide, Glibeclamide, Gliclazide, Gliquidone, Tolazamid, Talbutamid.

6. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
 Pengertian keluarga
 Tugas perkembangan keluarga
 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan
 Tahap proses kep. Keluarga
- Pengkajian
- Perencanaan
- Pelaksanaan
- Evaluasi
 Faktor pengkajian untuk penderita DM antara lain
- Riwayat kesehatan
Penyebab, berapa lama, silsilah keluarga, tanda dan gejala.
- Kebutuhan konsumsi makanan
Kebiasaan pola makan, diit, gaya hidup, pola aktivitas, eliminasi, emosional.
- Karakteristik lingkungan
Penerangan, kelembaban, penataan prabotan, kebersihan tempat tinggal klien.
- Pemeriksaan fisik
TD, BB, Kelembaban kulit.

 Kerangka fikir


 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1) Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang menderita Diabetes Melitus berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga mengenai penyebab, pencegahan, perawatan sehari-hari, diit dan komplikasi Diabetes Melitus.
2) Ketidaksanggupan mengenal penyakit Diabetes Melitus berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai luas dan sifat masalah Diabetes Melitus.
3) Ketidaksanggupan keluarga tentang penyakit Diabetes Melitus dalam melakukan tindakan yang tepat berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan sumber daya keluarga.
4) Ketidaktahuan keluarga memelihara lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan pribadi anggota keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai cara-cara modifikasi lingkungan rumah dan usaha-usaha pencegahan penyakit.

BAB III
RESUME KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan mulai tanggal 23 Juli – 26 Juli 2006 dapat dilihat dari fokus pengkajian sebagai berikut.
 Berdasarkan tipe keluarga, keluarga Tn. R termasuk keluarga besar karena terdiri dari 2 keluarga yang terdapat dalam rumah. Dengan jumlah seluruh anggota keluarga 6 orang dan hubungan antara anggota keluarga Tn. R tampak harmonis terlihat saat penulis melakukan pengkajian seluruh anggota keluarga Tn. R tampak akrab.
Dalam keluarga Tn. R ada anggota keluarga yang sakit yaitu Ny. S, Ny. S saat ini menderita DM dan pada saat dilakukan pengkajian Ny. S mengatakan sering BAK terutama pada malam hari 8 – 10 x/hari, kaki dan tangan terasa kesemutan dan terasa tebal sehingga untuk berjalan agak kesulitan, penglihatan kabur dan cepat sekali lelah.
Menurut keterangan dari Ny. S, Ny. S makan 3 x sehari dan sejak terkena DM Ny. S suka minum air putih/teh tawar, menghindari makanan berasa pedas, nangka, durian, daging kambing dan makanan berasa manis seperti roti, buah-buahan yang berasa manis.
Pemeriksaan fisik pada Ny. S – kesadaran compos mentis
TD : 130/90 mmHg Rr : 24 x/mnt
BB : 57 kg Nadi : 80 x/mnt
TB : 155 cm
Kepala : mesochepalis, rambut beruban.
Wajah : simetris, kulit keriput.
Mata : simetris, konjungtiva tidak anemis.
Hidung : bersih, tidak ada polip.
Mulut : bersih, tidak ada stomatitis.
Telinga : bersih, tidak ada serumen.
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid.
Dada : simetris tidak ada pembesaran.
Perut : tidak ada pembesaran.
Ekstremitas
Atas : pada tangan tidak terdapat oedem.
Kaki : pada kaki tidak terdapat oedem.
Dari fokus pengkajian tersebut diambil analisa data seperti pada halaman 60-62 BAB III.
 Perioritas masalah
Berdasarkan hasil skoring pada hal 63 – 66 dapat diuraikan masalah kesehatan adalah:
Prioritas I : penyakit diabetes melitus (5)
II : kesehatan lingkungan (3 1/6)

 Diagnosa keperawatan
1. Ketidak mampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita penyakit diabetes melitus berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga mengenai penyebab, pencegahan, cara perawatan sehari-hari, diit dan komplikasi diabetes melitus.
2. Ketidaksanggupan keluarga tentang penyakit Diabetes Melitus dalam melakukan tindakan yang tepat berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan sumber daya keluarga.
3. Ketidakmampuan keluarga memelihara lingkungan rumah yang mempengaruhi kesehatan anggota keluarga berhubungan dengan kurang informasi mengenai cara-cara yang memodifikasi rumah dan usaha-usaha pencegahan penyakit.
Dari ketiga diagnosa maka dilakukan skoring untuk menentukan diagnosa utama yang akan diberikan implementasi dan hasil skoring pada hal. 68 – 71 BAB III.
 Perencanaan
Dapat dilihat pada halaman 71-74 BAB III.
1. Rencana Tujuan
a. Tujuan jangka panjang
b. Tujuan jangka pendek
2. Kriteria Evaluasi
a. Respon verbal-kognitif
b. Respon psikomotor
3. Standar Evaluasi
a. Penyebab diabetes melitus
b. Pencegahan
c. Perawatan sehari-hari di rumah
d. Diit
e. Komplikasi
4. Intervensi Keperawatan
 Implementasi
Lihat hal. 71 - 77
 Evaluasi
Lihat hal 78 - 79

BAB IV
PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 23 Juli 2006 sampai tanggal 26 Juli 2006 dengan teknik wawancara, observasi/pengamatan, dokumentasi, pemeriksaan fisik dan data didapat dari keluarga Tn. R yaitu Tn. R, Ny. S dan Ny. K sehingga dapat akurat.

B. ANALISA DATA
Dari data yang didapat saat pengkajian, maka dikategorikan bahwa keluarga Tn. R. mengalami masalah kesehatan yaitu penyakit Diabetes Melitus dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Masalah tersebut lebih banyak disebabkan karena faktor ketidaktahuan.

C. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tipologi masalah dapat dirumuskan:
1. Kurang/tidak sehat (Ny. S menderita DM)
2. Ancaman kesehatan (sanitasi lingkungan) yang kurang baik.
D. PRIORITAS MASALAH
1. Penyakit DM
Karena apabila hal ini tidak ditangguhkan akan mengancam kehidupan.
2. Kesehatan Lingkungan
Karena bisa mempengaruhi derajat kesehatan anggota keluarga yang lain.

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
• DX I
Karena keluarga Tn. R. belum mengetahui tentang pengertian, tanda dan gejala penyebab serta bagaimana perawatan pada DM.
• DX II
Kurangnya pengetahuan dan sumber daya keluarga mempengaruhi kesehatan Ny. S.
• DX III
Ketidaktahuan keluarga tentang manfaat modifikasi lingkungan dapat memperburuk masalah kesehatan yang ada.
Pada diagnosa kurangnya pengetahuan keluarga mengenai penyakit DM b.d kurangnya informasi mengenai luas, berat dan sifat DM tidak muncul karena dapat teratasi dengan memberikan penyuluhan pada DX I

Asuhan Keperawatan Fraktur

ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR


BAB I
KONSEP DASAR

A. Fraktur
1. Pengertian
Trauma sistem muskuloskeletal yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah fraktur. Definisi yang paling sederhana menurut Tucker, et. al (1999: 434) fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang. Sedangkan menurut  Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1138) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Senada dengan definisi yang dinyatakan oleh para ahli diatas Doenges, et. al (2000: 761) juga mendefinisikan fraktur sebagai pemisahan atau patahnya tulang.
Beberapa definisi fraktur diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang yang disebabkan oleh beberapa mekanisme. Penyebab yang paling lazim adalah karena trauma.
2. Penyebab
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma namun dapat juga disebabkan oleh kondisi lain menurut Appley dan Salomon (1995: 238) fraktur dapat terjadi karena:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.

1) Bila terkena kekuatan langsung
Tulang dapat patah dan dapat mengenai jaringan lunak. Karena pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan dapat menyebabkan fraktur kominutif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
2) Bila terkena kekuatan tak langsung
Tulang mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu. Kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia dan fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara yang jalan berbaris dengan jarak jauh.
c. Fraktur patalogik
Fraktur dapat terjadi oleh kekuatan tulang yang berkurang atau rapuh oleh karena adanya proses patologis. Proses patologis tersebut antara lain adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.
3. Gambaran klinis
Manifestasi klinis fraktur tergantung pada tingkat keparahan trauma serta lokasi fraktur. Menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2358-2359) manifestasi klinis fraktur antara lain:

a. Nyeri.
Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas dan kehilangan fungsi.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan akan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada intregitas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pemendekan tulang.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain antara 2,5 sampai 5 cm (1 sampai  2 inci).
d. Krepitus.
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Edema.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear, fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
4. Anatomi / patologi
Menurut Price dan Wilson (1995: 1776) bagian-bagian tulang panjang yaitu diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar didekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama tersusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah juga terdapat dibagian epifisis dan diafisis tulang. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak dan akan menghilang pada tulang dewasa.



















Gambar 1. Anatomi tulang panjang (Price dan Wilson, 1995: 1776).


Terdapat berbagai tipe fraktur berdasarkan bentuk garis patah. Tipe-tipe fraktur tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:










Gambar 2. Berbagai tipe fraktur berdasarkan betuk garis patah (Smeltzer dan Bare, 2002: 2359).
5. Patofisiologi
Sabiston (1997: 370) menyatakan bahwa pola fraktur ditentukan dalam tingkat tertentu oleh sifat tenaga yang diberikan. Hal lain yang menentukan adalah sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang (Price dan Wilson, 1995: 1183). Ketiga hal tersebut dapat mentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap artinya mengenai seluruh penampang tulang atau sebagian saja. Menurut Underwood (1999: 811) sifat dan arah garis fraktur juga tergantung dari usia penderita dan jenis tulang yang terkena fraktur. Faktor-faktor ini bukan hanya dapat menentukan sifat dan arah garis fraktur saja karena usia penderita, jenis tulang yang fraktur serta pola tempat cedera mempengaruhi juga dalam kecepatan prose penyembuhan.
Pola terjadinya fraktur pada tulang sangat berperan dalam menentukan klasifikasinya. Klasifikasi fraktur menurut FKUI (2000: 346-347) dideskripsikan sebagai berikut:
a. Komplit atau tidak komplit.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti:
a) Hairline fracture (patah retak rambut).
b) Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak.
c) Greenstick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak.
b. Bentuk garis patah dan hubunganya dengan mekanisme trauma.
1) Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung.
2) Garis patah oblik : trauma angulasi.
3) Garis patah spiral : trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa.
5) Fraktur avulsi : trauma tarikan / traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur patella.
c. Jumlah garis patah.
1) Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal.
3) Faktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya misalnya fraktur femur, fraktur kruris dan fraktur tulang belakang.
d. Bergeser atau tidak bergeser.
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen frakt ur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi menjadi:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pegeseran membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).
e. Komplikasi atau tanpa komplikasi. Komplikasi dapat berupa komplikasi dini atau lambat, lokal atau sistemik, oleh trauma atau akibat pergerakan.
f. Terbuka atau tertutup.
1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (open atau compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I.
(1) Luka kurang dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, tranversal, oblik atau kominutif ringan.
(4) Kontaminasi ringan.
b) Derajat II.
(1) Laserasi lebih dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap atau avulsi.
(3) Fraktur kominutif sedang.
(4) Kontaminasi sedang.
c) Derajat III.
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:
(1) Jaringan lunak yang menutupi fraktur adekuat, meskipun terdapat laserasi luas, flap atau avulsi atau fraktur  segmental / sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
(2) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi.
(3) Luka pada pembuluh arteri atau saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
Bila terjadi patah tulang maka proses penyembuhannya berbeda dengan jaringan lain. Ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut seperti jaringan lain pada umumnya tetapi mengalami regenerasi sendiri. Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1146) menyatakan bahwa proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang.
Tahapan-tahapan penyembuhan tulang menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2266-2268) adalah sebagai berikut:
a. Inflamasi.
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag, yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi sel.
Kurang lebih 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteobalast (berkembang dari osteosit, sel endostel dan periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteosit). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus.
c. Pembentukan kalus.
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi yang lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan sampai tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Agar fragmen tulang rawan atau jaringan fibrus diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
d. Osifikasi.
Pembentukan kalus mulai mengalami penurunan dalam 2 sampai 3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada patah tulang panjang orang dewasa, penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
e. Remodeling.
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung beratnya tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus, stress funsional pada tulang. Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat daripada tulang kortikal kompak khususnya pada titik kontak langsung.
Proses penyembuhan tulang tersebut dapat terganggu karena beberapa hal, sehingga akan memperlambat pertautan dua fragmen. Menurut Long (1996: 359) penyebab gangguan penyembuhan tulang atara lain sebagai berikut:
a. Kalus putus atau remuk karena aktivitas berlebihan.
b. Edema pada lokasi fraktur, menahan penyaluran nutrisi ke lokasi.
c. Immobilisasi yang tidak efisien.
d. Infeksi terjadi pada lokasi.
e. Kondisi gizi klien buruk.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2361) faktor yang menghambat penyembuhan tulang adalah:
a. Trauma lokal ekstensif.
b. Kehilangan tulang.
c. Immobilisasi tidak memadai.
d. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang.
e. Infeksi.
f. Keganasan lokal.
g. Penyakit tulang metabolik ( misalnya penyakit Paget).
h. Radiasi tulang (nekrosis radiasi).
i. Nekrosis avaskuler.
j. Fraktur intraartikuler (cairan sinovial mengandung fibrilisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan).
k. Usia (lansia sembuh lebih lama).
l. Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan).
B. Amputasi
1. Pengertian
Amputasi adalah perlakuan yang mengakibatkan cacat menetap (Syamsuhidajat dan Jong, 1997: 1282). Sedangkan menurut Engram (1999: 343) amputasi merujuk pada pengangkatan semua atau sebagian ekstremitas. Tucker, et. al (1999: 453) juga memberikan definisi yang lebih terinci yaitu amputasi kaki adalah pengangkatan melalui pembedahan bagian dari kaki karena trauma, penyakit, tumor atau anomali kongenital.
Definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa amputasi adalah tindakan pengangkatan sebagian atau seluruhnya dari bagian tubuh terutama ekstremitas atas indikasi tertentu sehingga menimbulkan kecacatan menetap. Terdapat dua macam amputasi dilihat dari teknik pembedahannya. Menurut Engram (1999: 347) amputasi dapat terbuka (guillotine) atau tertutup.
Amputasi terbuka dikerjakan pada luka kotor seperti luka perang atau infeksi berat antara lain gangren gas. Pada amputasi cara ini sayatan dikulit dibuat secara sirkuler sedangkan otot dipotong lebih proksimal dari sayatan di kulit dan tulang digergaji sedikit proksimal dari otot. Luka dibiarkan terbuka sampai infeksi teratasi, kemudian baru dikerjakan reamputasi (Syamsuhidajat dan Jong, 1997: 1285). Untuk amputasi tertutup, dokter bedah menutup luka dengan flap kulit dan otot (Engram, 1999: 343).


2. Indikasi
Menurut Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1282) indikasi amputasi antara lain:
a. Kelainan tulang yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah.
b. Cedera.
c. Tumor ganas.
d. Infeksi.
e. Kelainan bawaan.
f. Kelainan neurologis seperti paralisis dan anestesia.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2387) amputasi ekstermitas bawah sering diperlukan pada kondisi-kondisi berikut:
a. Penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai gejala sisa diabetes mellitus).
b. Gangren.
c. Trauma (cedera remuk, luka bakar, luka bakar dingin, luka bakar listrik).
d. Deformitas kongenital.
e. Tumor ganas.



D. Fokus Pengkajian
Fokus pengkajian pada klien dengan fraktur menurut Doenges, et. al (2000: 761) adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas istirahat.
Tanda : Keterbatasan atau fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder dan pembengkakan jaringan, nyeri).
2. Sirkulasi.
Tanda : Hipertensi atau tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat. Pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jariangan atau massa hematoma pada sisi cedera.
3. Neurosensori.
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri ansietas atau trauma lain).
4. Nyeri / kenyamanan.
Gejala : Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang, dapat berkurang pada immobilisasi). Tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi).
5. Keamanan.
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
6. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejala : Lingkungan cedera.
Fokus pengkajian pada klien yang mengalami amputasi menurut Doenges, et. al (2000: 786) adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas / istirahat.
Gejala : Keterbatasan aktual atau antisipasi yang dimungkinkan oleh kondisi / amputasi.
2. Integritas ego.
Gejala : Masalah tentang antisipasi pola hidup, situasi finansial, reaksi orang lain. Perasaan putus asa, tidak berdaya.
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka, marah, menarik diri, keceriaan semu.
3. Seksualitas.
Gejala : Masalah tentang keintiman hubungan.
4. Interaksi sosial.
Gejala : Masalah sehubungan dengan penyakit atau kondisi. Masalah tentang peran fungsi, reaksi orang lain.
5. Penyuluhan / pembelajaran.
Memerlukan bantuan dalam perawatan luka atau bahan, adapatasi terhadap alat bantu ambulatori, transportasi, pemeliharaan rumah, kemungkinan aktivitas perawatan diri dan latihan kejuruan.

E. Fokus Intervensi
Menurut Doenges, et. al (2000: 763-774) fokus intervensi pada klien fraktur adalah sebagai berikut:
1. Nyeri berhubungan dengan gerakan fragmen, edema dan cedera pada jaringan lunak.
Hasil yang dih arapkan:
a. Menyatakan nyeri hilang.
b. Menunjukkan tindakan santai: mampu berpartisipasi dalam aktivitas / tidur / istirahat dengan ketat.
c. Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring , gips, pembebat, traksi.
Rasional : Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan cedera.
b. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena fraktur.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan nyeri.
c. Hindari penggunaan sprei atau bantal plastik di bawah ekstremitas yang di gips.
Rasional : Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang kering.
d. Evaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik, termasuk intensitas (skala 0-10). Perhatikan petunjuk nyeri non verbal.
Rasional : Mempengaruhi pilihan dan pengawasan keefektifan intervensi.
e. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan dan kelelahan otot.
f. Dorong pasien menggunakan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif atau latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri.
g. Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa / tiba-tiba atau dalam, lokasi progresif atau buruk tidak hilang dengan analgetik.
Rasional : Dapat menandakan terjadinya komplikasi seperti infeksi, iskemia jaringan atau sindrom kompartemen.
h. Lakukan kompres dingin (es) pada 24-48 jam pertama dan sesuai keperluan.
Rasional : Menurunkan edema atau pembentukan hematoma dan menurunkan nyeri.
i. Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Diberikan untuk menurunkan nyeri dan spasme otot.
2. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kehilangan integritas tulang.
Hasil yang diharapkan:
a. Mempertahankan stabilisasi dari posisi fraktur.
b. Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur.
c. Menunjukkan pembentukan kalus / mulai penyatuan fraktur dengan tepat.
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring / ekstremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi diatas dan dibawah fraktur bila bergerak / membalik.
Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi / penyembuhan.
b. Letakkan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
Rasional : Tempat tidur lembut atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah, mematahkan gips yang sudah kering atau mempengaruhi penarikan traksi.
c. Sokong fraktur dengan bantal / gulungan selimut. Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, pembebat, papan kaki.
Rasional : Mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi. Posisi yang tepat dari bantal juga dapat mencegah tekanan deformitas yang di gips kering.
d. Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi edema.
Rasional : Seiring dengan berkurangnya edema, penilaian kembali pembebat atau penggunaan gips plester mungkin diperlukan untuk mempertahankan kesejajaran fraktur.
3. Risiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler berhubungan dengan penurunan atau interupsi aliran darah.
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat atau kering, sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil, dan haluaran urin adekuat untuk situasi individu.
Intervensi:
a. Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit.
Rasional : Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.
b. Evaluasi adanya (kualitas) nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi.
Rasional : Penurunan atau tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera vaskuler.
c. Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional : Kembalinya warna kulit harus cepat (3-5 detik). Warna kulit putih, menunjukkan gangguan arterial, sianosis diduga adanya gangguan vena.


d. Lakukan pengkajian neuromuskuler. Perhatikan perubahan fungsi motor atau sensasi. Minta pasien untuk melokalisasi nyeri.
Rasional : Gangguan perasaan kebas, kesemutan, peningkatan atau penyebaran nyeri bila sirkulasi pada saraf tidak adekuat atau saraf rusak.
e. Tes sensasi saraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari dan jari kedua dan kaji kemampuan dorsofleksi ibu jari bila di indikasikan.
Rasional : Panjang dan posisi saraf perineal meningkatkan risiko cedera pada fraktur kaki, edema / sindrom kompartemen, malposisi alat traksi.
f. Kaji jaringan disekitar akhir gips, selidiki keluhan rasa terbakar di bawah gips.
Rasional : Faktor ini disebabkan atau mengindikasikan jaringan iskemia, menimbulkan kerusakan / nekrosis.
g. Pertahankan peninggian ekstremitas yang cedera kecuali dikontraindikasikan.
Rasional : Meningkatkan drainase vena / menurunkan edema.
h. Kaji keseluruhan panjang ekstremitas untuk pembengkakan / pembentukan edema.
Rasional : Peningkatan lingkar ekstremitas yang cedera menandakan edema jaringan tetapi dapat juga perdarahan.
i. Selidiki tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba (contoh penurunan suhu kulit dan peningkatan nyeri).
Rasional : Dislokasi fraktur sendi (terutama lutut) dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan dan berakibat hilangnya aliran darah ke distal.
j. Awasi tanda vital. Perhatikan tanda pucat / sianosis umum, kulit dingin, perubahan mental.
Rasional : Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
k. Awasi hemoglobin / hematokrit, pemeriksaan faktor koagulasi darah (contoh protrombin).
Rasional : Membantu dalam kalkulasi kehilangan darah dan membutuhkan keektifan terapi penggantian.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuro muskuler.
Hasil yang diharapkan:
a. Meningkatkan / mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
b. Mempertahankan posisi fungsional.
c. Meningkatkan kekuatan / fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
d. Menunjukkan teknik yang memampukan melakukan aktifitas.

Intervensi:
a. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh pengobatan (terapi restriktif) dan perhatikan persepsi klien terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi / intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
b. Dorong partisipasi dalam akatifitas terapeutik / rekreasi. Pertahankan rangsang lingkungan seperti koran, TV, radio, barang pribadi, kalender dll.
Rasional : Memberi kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial.
c. Instruksikan pasien untuk / bantu dalam rentang gerak pasien, pasif untuk ekstremitas yang sakit dan aktif untuk ekstremitas yang sehat.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur / atrofi dan resorbsi kalsium karena tak digunakan.
d. Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dari tungkai yang tidak sakit.
Rasional : Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan dan massa otot.
e. Dorong / bantu perawatan diri / kebersihan.
Rasional : Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkan kesehatan diri langsung.
f. Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk dan nafas dalam.
Rasional : Mencegah / menurunkan insiden komplikasi kulit / pernafasan.
g. Konsul ahli terapi fisik / okupasi dan / atau rehabilitasi spesialis.
Rasional : Berguna dalam membuat aktivitas iindividual / program latihan.
5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer skunder akibat trauma jaringan.
Hasil yang diharapkan:
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi:
a. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
Rasional : Pen atau kawat tidak dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi, kemerahan atau abrasi.
b. Kaji kulit, perhatikan keluhan peningkatan nyeri / rasa terbakar atau adanya edema, eritema, drainase dan bau tak enak.
Rasional : Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokal /nekrosis jaringan yang dapat menimbulkan osteomielitis.
c. Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tak enak / asam.
Rasional : Tanda perkiraan gas gangren.
d. Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
Rasional : Kekakuan otot, spasme tonik otot rahang, dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
e. Berikan obat-obatan sesuai indikasi: antibiotik dan tetanus toksoid.
Rasional : Dapat diberikan sebagai profilaksis.
Fokus intervensi pada klien amputasi menurut Doenges, et. al (2000: 787-795) adalah sebagai berikut:
1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan bagian tubuh.
Hasil yang diharapkan:
a. Mulai menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri (amputasi).
b. Mengenali dan menyatu dengan perubahan dalam konsep diri yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
c. Membuat rencana nyata untuk adaptasi peran baru / perubahan peran.
Intervensi:
a. Dorong ekspresi ketakutan, perasaan negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
Rasional : Ekspresi emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas hidup tanpa tungkai.
b. Beri penguatan informasi pascaoperasi termasuk tipe / lokasi amputasi, tipe protesa, harapan tindakan operasi, termasuk kontrol nyeri dan rehabilitasi.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk menanyakan dan mengasimilasi informasi dan mulai menerima perubahan gambaran diri dan fungsi, yang dapat membantu penyembuhan.
c. Kaji derajat dukungan yang ada untuk pasien.
Rasional : Dukungan yang cukup dari orang terdekat dan teman dapat membantu proses rehabilitasi.
d. Dorong partisipasi dalam akivitas sehari-hari. Berikan kesempatan untuk memandang / merawat puntung menggunakan waktu untuk untuk menunjukkan tanda positif penyembuhan.
Rasional : Meningkatkan kemandirian dan meningkatkan harga diri.
e. Berikan lingkungan yang terbuka pada pasien untuk mendiskusikan masalah tentang seksualitas.
Rasional : Mengidentifikasi tahap berduka / kebutuhan untuk intervensi.
f. Perhatikan perilaku menarik diri. Membicarakan diri tentang hal yang negatif, penggunaan penyangkalan atau terus menerus melihat perubahan nyata /yang diterima.
Rasional : Mengidentifikasi tahap berduka nyata/ yang diterima.
2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik / jaringan dan trauma saraf.
Hasil yang diharapkan:
a. Menyatakan nyeri hilang / terkontrol.
b. Tampak rileks dan mampu tidur / istirahat dengan tepat.
c. Menyatakan pemahaman tentang nyeri fantom dan metode untuk menghilangkannya.
Intervensi:
a. Catat lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan karakteristik nyeri (kebas atau kesemutan).
Rasional : Membantu dalam evaluasi kebutuhan dan keefektifan intervensi.
b. Tinggikan bagian yang sakit dengan meninggilkan kaki tempat tidur atau menggunakan bantal / guling untuk amputasi tungkai atas.
Rasional : Mengurangi terbentuknya edema dengan peningkatan alir balik vena, menurunkan kelelahan otot dan tekanan kulit / jaringan.
c. Terima kenyataan sensasi fantom tungkai yang biasanya hilang dengan sendirinya.
Rasional : Mengetahui sensasi ini memungkinkan pasien memahami fenomena normal ini yang dapat terjadi segera atau beberapa minggu pasca operasi.
d. Berikan tindakan kenyamanan (contoh ubah posisi sering, pijatan punggung) dan aktivitas terapeutik. Dorong penggunaan teknik manajemen stress (contoh latihan nafas dalam, visualisasi) dan sentuhan terpeutik.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, dapat meningkatkan kemampuan koping dan dapat menurunkan terjadinya nyeri fantom pada tungkai.
e. Berikan pijatan lembut pada puntung sesuai toleransi bila balutan telah dilepaskan.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi, menurunkan tegangan otot.
f. Selidiki keluhan nyeri lokal / kemajuan yang tak hilang dengan analgetik.
Rasional : Dapat mengidentifikasi terjadinya sindrom kompartemen.
g. Berikan obat sesuai indikasi : analgetik dan relaksan otot.
Rasional : Menurunkan nyeri dan spasme otot.
3. Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah vena / arterial.
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan dengan nadi perifer teraba, kulit hangat / kering, dan penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi:
a. Awasi tanda vital, palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan antara ekstremitas yang sakit dan yang sehat.
Rasional : Indikator umum status sirkulasi dan keadekuatan perfusi.
b. Lakukan pengkajian neurovaskuler periodik, contoh sensasi, gerakan, nadi, warna kulit dan suhu.
Rasional : Edema jaringan pasca operasi, pembentukan hematoma atau balutan terlalu ketat dapat mengganggu sirkulasi pada puntung mengakibatkan nekrosis.
c. Inspeksi alat balutan / drainase, perhatikan karakteristik balutan.
Rasional : Kehilangan darah terus menerus mengindikasikan kebutuhan untuk tambahan penggantian cairan dan evaluasi gangguan koagulasi.
d. Berikan tekanan langsung pada sisi perdarahan bila terjadi perdarahan.
Rasional : Tekanan langsung pada luka dapat diteruskan dengan penggunaan balutan serat pengaman dengan balutan elastis bila perdarahan terkontrol.
e. Berikan cairan intravena / produk darah sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi untuk memaksimalkan perfusi.
4. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer skunder akibat trauma jaringan.
Hasil yang diharapkan:
Mencapai penyembuhan tepat waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan tidak demam.
Intervensi:
a. Pertahankan teknik aseptik bila mengganti balutan / merawat luka.
Rasional : Meminimalkan introduksi bakteri.

b. Inspeksi balutan dan luka, perhatikan karakteristik drainase.
Rasional : Deteksi dini terjadinya infeksi memberikan kesempatan untuk intervensi tepat waktu.
c. Tutup balutan dengan plastik bila menggunakan pispot atau bila terjadi inkontinensia.
Rasional : Mencegah kontaminasi pada amputasi.
d. Buka puntung terhadap udara, pencucian dengan sabun ringan dan air setelah pembalutan dikontraindikasikan.
Rasional : Mempertahankan kebersihan dan meminimalkan kontaminasi.
e. Awasi tanda vital.
Rasional : Peningkatan suhu / takikardi menunjukkan terjadinya infeksi.
f. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Dapat digunakan sabagai profilaksis.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan tungkai.
Hasil yang diharapkan:
a. Menunjukkan keinginan berpartipasi dalam aktifitas.
b. Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan dengan tidak adanya kontraktur dan atropi otot.
c. Menunjukkan teknik / perilaku yang memampukan beraktifitas.
Intervensi:
a. Bantu latihan rentang gerak khusus untuk area yang sakit dan yang tidak sakit secara dini pada tahap pasca operasi.
Rasional : Mencegah kontraktur dan perubahan bentuk yang dapat terjadi dengan cepat dan memperlambat penggunaan protesa.
b. Dorong latihan aktif / isometrik untuk paha atas dan lengan atas.
Rasional : Meningkatkan kekuatan otot untuk membantu ambulasi.
c. Instruksikan pasien untuk berbaring dengan posisi tengkurap sesuai toleransi, sedikitnya dua kali sehari dengan bantal dibawah abdomen dan puntung ekstremitas bawah.
Rasional : Menguatkan otot ekstensor dan mencegah kontraktur fleksi pada panggul.
d. Tunjukkan / bantu teknik pemindahan dan penggunaan alat mobilitas (contoh kruk, atau walker).
Rasional : Membantu perawatan diri dan kemandirian pasien.
e. Bantu latihan ambulasi.
Rasional : Menurunkan potensial untuk cedera. Ambulasi setelah amputasi tergantung waktu pemasangan protesa.
f. Rujuk kepada tim rehabilitasi.
Rasional : Memberikan bentuk latihan / program aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan kekuatan individu dan mengidentifikasi mobilitas fungsional membantu peningkatan kemandirian.
Photobucket